Ditandai dengan jumlah hari hujan yang singkat dengan
tingkat presipitasi yang tinggi, iklim eratik yang terjadi di NTT
menimbulkan gagal panen karena hujan berhenti pada fase pertumbuhan tanaman
(juvenile) atau pada fase pembungaan dan fase pengisian biji dari tanaman
pangan (Basuki et al., 2005). Pusopun berpeluang terjadi pada 86,05% lahan pertanian
NTT yang merupakan lahan kering (Mbipi, 2005) dan sangat bergantung pada hujan.
Pada pertengahan Juni 2005 misalnya, sekitar 54.055,37 hektar jagung mengalami
gagal tanam atau gagal panen di beberapa kabupaten di NTT (Badan Bimas
Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Juni 2005) karena faktor hujan. Pada saat itu,
kerusakan panen cenderung meningkat khususnya pada Tahun 2003 hingga 2005
(Mbipi, 2005). Puso juga disebabkan karena terjangan banjir yang sekaligus
mengerus solum tanah di hampir semua wilayah NTT yang umumnya bertopografi
berbukit hingga bergunung (70%) dengan kemiringan rata-rata lebih dari 25%
(Mbipi, 2005) apalagi beberapa tempat seperti di Sumba memiliki lapisan tanah
(topsoil) yang tipis. Sebagai akibatnya, beberapa wilayah seperti di DAS Benanain,
tergolong dalam bahaya erosi sangat berat (85.52%) sehingga meningkatkan luas
lahan kritis pada DAS tersebut sebesar 284.096 Ha. Selain erosi, dominasi tanah
Kambisol sebesar 61% di areal DAS ini juga memperbesar peluang terjadinya
longsor besar (Forum DAS NTT, 2006) mana kala terjadi hujan terus-menerus lebih
dari seminggu. Longsor seperti ini pernah dialami oleh Masyarakat Oenoah, Desa
Puna, Kecamatan Polen (TTS) di mana lahan sawah dan tanaman mamar seluas 1,5
Km2 menjadi hancur. Belum lagi nyawa 100an korban banjir bandang di Malaka yang
masih segar teringat dalam benak masyarakat NTT.
Longsor dan erosi tadi cenderung
meningkat sebagai akibat dari pola bertani masyarakat NTT yang cenderung
menebas dan membakar hutan secara berpindah-pindah (shifting cultivation) dan sebaliknya, mengabaikan lahan lama tanpa
melakukan konservasi. Cara-cara demikian sebenarnya sudah tidak layak lagi
mengingat kepadatan agraris di NTT sudah tinggi dalam kisaran antara 40 hingga
80 jiwa per hektar lahan dan kapasitas pengelolaan lahan secara ekstensif (carrying capacity ratio) di bawah dari
0,6 (Forum DAS NTT, 2006) atau sudah tidak layak diterapkan. Kerusakan
atas hutan semakin diperparah dengan adanya pembalakan hutan untuk dijadikan
bahan bakar. Industri-industri seperti pembakaran bata merah di Kota Kefamenanu
(TTU) dan di Tanah Merah (Kupang) serta industry penyulingan alkohol di Kota
Waingapu serta Melolo (Sumba Timur), telah menghabiskan bertruk-truk kayu
gelondongan. Bila dicermati, perambahan kayu untuk dibakar semata-mata
dilakukan sebagai solusi dari tidak tersedianya sumber energy alternative
lainnya ketika minyak bumi tidak dapat diakses oleh masyarakat setempat.
Terambahnya hutan sedemikian cepat disinyalir menjadi penyebab terjadinya
perubahan keadaan cuaca dalam skala mikro. Setiap hektar hutan yang hilang
melepas 250 Mg karbon ke udara (Rahayu et al., NN) dan karbon yang dilepas akan
menahan pantulan sinar matahari dari permukaan bumi ke atmosfir sehingga
permukaan bumi bertambah panas dan kurang lembab. Sebagai dampaknya,
butiran-butiran air hujan tidak bisa terbentuk di atmosfir walau banyak uap air
pada saat itu. Karbon juga mengurai ozone yang menjadi lapisan pelindung
atmosfir atas berbagai dampak buruk pencahayaan atas kehidupan di atas planet bumi.
Dengan tingkat deforestasi di NTT sebesar 4 kali lipat lebih cepat dari upaya
forestasi (Ndjurumana,2004), maka peningkatan panas permukaan bumi sebesar 1,7
hingga 4,5 oC dalam kurun waktu 100 tahun terakhir (Houghen et al.,
2001) yang akan berdampak pada perubahan cuaca sangat gampang terjadi. Semua
ulasan mengenai penyebab dan dampak dari bencana ini seakan mengarahkan pada
adanya usaha-usaha yang menunjang kecukupan pangan, energi, dan keselarasan
dengan alam sebagai suatu kekekhasan dalam adaptasi iklim di NTT.
Pertanian Konservasi Terintegrasi Bio-Gas
Peningkatan hasil pertanian
berkelanjutan dengan penyediaan energi terbarukan adalah suatu keharusan.
Pertanian konservasi merupakan upaya meningkatkan hasil pertanian dan sekaligus
perbaikan sumberdaya lahan untuk menghadapi keadaan iklim ataupun cuaca yang
terus berubah dan tidak kondusif. Pertanian konservasi selalu menganut tiga
prinsip penting: (pertama) pengolah lahan secara terbatas hingga tanpa olah, (kedua) penutupan permukaan tanah secara
sempurna sepanjang musim, dan (ketiga)
rotasi atau tumpang sari tanaman dengan legumonosa (kacang-kacangan).
Pengolahan
tanah secara terbatas dapat dilakukan dengan cara pembuatan lubang tanam
permanen atau alur tanam sebagai upaya untuk pemberian pupuk organic/kompos.
Tanaman utama seperti jagung di tanam di lubang tanam atau alur yang telah
diperkaya dengan pupuk organic dan di antara tanaman jagung ditanami tanaman
kacang-kacangan sehingga permukaan tanah tertutupi dengan sempurna. Pada
tahap awal penutup tanah mungkin harus diambil dari luar kebun berupa
daun-daunan yang dijadikan mulsa. Pada musim tanam berikutnya seluruh
sisa tanaman di areal kebun dijadikan mulsa. Hal ini terus dilakukan dari
musim ke musim sehingga sisa tanaman akan terakumulasi di permukaan tanah
sebagi penutup tanah dan sumber bahan organik tanah. Dalam jangka panjang
praktek ini akan mampu memperbaiki kualitas lahan dan mencegah erosi.
Upaya pertanian konservasi dalam
mempercepat perbaikan sumber daya lahan memerlukan ketersediaan bahan
organik. Hal ini mengarahkan bahwa pertanian konservasi sangat serasi
dipadukan/diintegrasikan dengan ternak sebagi penghasil pupuk organik. Bio-gas
merupakan campuran gas methane dan gas lainnya yang dihasilkan dari proses
pembusukan bahan organik secara anaerobik dan bisa diubah menjadi panas maupun
menjadi energi listrik yang nantinya bisa diubah menjadi bentuk energi
berkualitas lainnya.
Oleh sebab itu, bio-gas telah
dikembangkan pada industri-industri proses yang memanfaatkan unsur panas dan
daya sekaligus (combined heat and power,
CHP). Selain bio-gas, byproduct ampas bio-gas (bio-slurry atau bio-digestate), dapat dijadikan pupuk organik bagi
tanaman dan penyubur kolam ikan. Dengan begitu, bio-gas sesungguhnya bisa
menghidupkan pertanian dan industri pemrosesan dari hasil-hasil pertanian.
Pertanian konservasi terintegrasi
bio-gas merupakan suatu sistim pertanian konservasi dengan memadukan manfaat
dari sistim-sistim bio-gas ke dalam lahan yang akan dikonservasi. Integrasi ini
disinyalir akan semakin membawa banyak manfaat di tingkat petani. Untuk lebih
jelasnya, bila saja petani hanya punya bio-gas, pupuk bio-slurrynya akan
terbuang percuma. Sebaliknya, bila seorang petani hanya memiliki lahan
pertanian konservasi, petani tersebut mungkin akan kesulitan untuk mendapatkan
pupuk organik dan sang petani juga tidak punya sumber energi untuk mengolah
semua hasil pertaniannya menjadi produk olahan lainnya yang bernilai ekonomis
tinggi. Di tingkat petani, kehadiran bio-gas bagi seorang petani konservasi
akan mengurangi beban kerja dan memperkecil waktu pembuatan kompos. Selain itu,
pupuk bio-gas cair sangat mudah diserap oleh akar tanaman bila dibandingkan
dengan pupuk kompos padat. Walau mungkin saja bio-slurry rendah kandungan bahan
organiknya, integrasi bio-gas dan pertanian konservasi menjadi bertambah
menarik bila dipandang sebagai akumulasi pengurangan emisi karbon dalam satu
paket program terintegrasi berupa pembakaran bio-gas rendah emisi, deposit
karbon dalam bentuk pupuk organic ke dalam tanah, dan pengkonsentrasian emisi
methane ke dalam reaktor yang ke luar dari kotoran ternak yang berhamburan di
atas permukaan tanah. Untuk diketahui, dengan praktek pertanian konservasi,
Karbon (unsur C) yang disimpan dalam tanah dapat mencapai 500 hingga 600 Kg per
Ha per tahunnya di Amerika Serikat (Follet, 2001).
Dukungan Terhadap Akselerasi Pertanian Konservasi Terintegrasi
Bio-Gas
Meskipun pertanian terintegrasi
sistim bio-gas telah ada di lapangan seperti yang dilakukan BPTP Prov. NTT bekerja
sama dengan Fakultas Peternakan Undana di Desa Bila (TTS) maupun yang dilakukan
Yayasan Rumah Energi bekerja sama dengan Hivos di Sumba, peningkatan kesadaran
akan manfaat konservasi dan bio-gas, pengembangan produk-produk bio-gas dan
integrasinya dengan pertanian agar tercipta kebangkitan industri rumah tangga
perlu dilakukan. Sebagai informasi, potensi lahan kering NTT sebesar 1.528.258
Hektar sedangkan potensi bio-gas beberapa Kabupaten seperti Sumba, Kupang, dan
Kodya Kupang adalah sebesar 706,41 MW. Penyadaran tersebut dapat terjadi
melalui demonstrasi dalam skala kecil lalu diikuti evaluasi untuk pengembangan
ke depannya melalui proses belajar bersama/sekolah lapang pertanian konservasi
yang efektif meyakinkan masyarakat untuk beralih ke pertanian konservasi.
Selanjutnya, ketersediaan bibit
tanaman yang berkualitas di tingkat petani baik itu untuk tanaman jagung maupun
untuk tanaman kacang-kacangan sebagai penutup tanah kiranya menjadi perhatian
dari semua pihak seperti fore Belu, varietas kacang hijau Malaka, yang sudah
mendapat pengakuan nasional dan berpotensi menjadi tanaman penutup lahan yang
baik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tersedianya peralatan dan mesin
pertanian yang disesuaikan dengan prinsip pertanian konservasi. Alat-alat
seperti pembuat alur (ripper),
penggilas sisa tanaman (roller crimper),
alat tanam (Li-seeder, Direct seeder, dan
Injector) dapat diadakan bagi petani konservasi karena alat-alat ini telah
terbukti mengurangi beban kerja maupun waktu yang diinvestasikan petani ketika
memulai pertanian konservasi.
Existnya sistim “Salome” (pola tanam
jagung, kacang, dan labu lilin di satu lubang tanam sesuai prinsip konservasi
lahan) di kalangan petani didukung oleh pepatah Orang Malaka: “tahu batar no ina, batar mai mikar inan la
mai”, semata-mata menunjukkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim
di kalangan masyarakat NTT yang ramah lingkungan namun murah, tidak membutuhkan
pertanian bertekonoligi modern apalagi peralatan seberat dan sebesar excavator.
Apapun Programnya, Penyuluhan Kuncinya (Ditulis
oleh George M. Manu dan Syamsul Riyadi)
Referensi:
- Basuki Tony, Kedang A., dan Nulik J., 2005. Peranan Agroecological Zone (AEZ) terhadap Strategi Ketahanan Pangan di Nusa Tenggara Timur. Dipresentasikan mewakili Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, 2005. Perkiraan Ketahanan Pangan di NTT dan Strategi Menghadapi Keadaan Rawan Pangan Di NTT Tahun 2005/2006 (Presentasi). Dipaparkan pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Mbipi T. Cyrilus, 2005. Pengaruh Iklim Terhadap Prodktivitaspertanian Taman Pangan dan Antisipasi Penanggulangan Di NTT (Presentasi). Dipresentasikan pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Forum DAS NTT, 2006. Rumusan Workshop Pengelolaan Terpadu DAS Benanain-Noelmina Kupang, 28-29 Juni 2006
- Rahayu Subekti, Lusiana Betha, van Noordwijk Meine, NN. Aboveground Carbon Stock Assessment for Various Land Use Systems in Nunukan, East Kalimantan. ICRAFF Bogor.
- Njurumana ND. Gerson, NN. Rimbawan di Padang Savanna, sebuah refleksi Hari Bakti Rimbawan 16 Maret.
- Follet R. F., 2001. Soil management concept and carbon sequestration zin cropland soil. Soil tillage research 61 (2001) 77-92,Elsevier.
- Houghen JT, Ding Y, Griggs DJ, Nouger M., et al., 2001. Climate change 2001: The scientific basis. Cambridge University Press. 83 pp. http://www.ipcc.ch/Accessed: 28.
- Basuki Tony, Kedang A., dan Nulik J., 2005. Peranan Agroecological Zone (AEZ) terhadap Strategi Ketahanan Pangan di Nusa Tenggara Timur. Dipresentasikan mewakili Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, 2005. Perkiraan Ketahanan Pangan di NTT dan Strategi Menghadapi Keadaan Rawan Pangan Di NTT Tahun 2005/2006 (Presentasi). Dipaparkan pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Mbipi T. Cyrilus, 2005. Pengaruh Iklim Terhadap Prodktivitaspertanian Taman Pangan dan Antisipasi Penanggulangan Di NTT (Presentasi). Dipresentasikan pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Forum DAS NTT, 2006. Rumusan Workshop Pengelolaan Terpadu DAS Benanain-Noelmina Kupang, 28-29 Juni 2006
- Rahayu Subekti, Lusiana Betha, van Noordwijk Meine, NN. Aboveground Carbon Stock Assessment for Various Land Use Systems in Nunukan, East Kalimantan. ICRAFF Bogor.
- Njurumana ND. Gerson, NN. Rimbawan di Padang Savanna, sebuah refleksi Hari Bakti Rimbawan 16 Maret.
- Follet R. F., 2001. Soil management concept and carbon sequestration zin cropland soil. Soil tillage research 61 (2001) 77-92,Elsevier.
- Houghen JT, Ding Y, Griggs DJ, Nouger M., et al., 2001. Climate change 2001: The scientific basis. Cambridge University Press. 83 pp. http://www.ipcc.ch/Accessed: 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar