Minggu, 04 September 2016

Adaptasi Iklim Terintegarasi Menunjang Ketahanan Pangan dan Energi Berkelanjutan di Propinsi Nusa Tenggara Timur


Ditandai dengan jumlah hari hujan yang singkat dengan tingkat presipitasi yang tinggi,  iklim eratik yang terjadi di NTT menimbulkan gagal panen karena hujan berhenti pada fase pertumbuhan tanaman (juvenile) atau pada fase pembungaan dan fase pengisian biji dari tanaman pangan (Basuki et al., 2005). Pusopun berpeluang terjadi pada 86,05% lahan pertanian NTT yang merupakan lahan kering (Mbipi, 2005) dan sangat bergantung pada hujan. Pada pertengahan Juni 2005 misalnya, sekitar 54.055,37 hektar jagung mengalami gagal tanam atau gagal panen di beberapa kabupaten di NTT (Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Juni 2005) karena faktor hujan. Pada saat itu, kerusakan panen cenderung meningkat khususnya pada Tahun 2003 hingga 2005 (Mbipi, 2005). Puso juga disebabkan karena terjangan banjir yang sekaligus mengerus solum tanah di hampir semua wilayah NTT yang umumnya bertopografi berbukit hingga bergunung (70%) dengan kemiringan rata-rata lebih dari 25% (Mbipi, 2005) apalagi beberapa tempat seperti di Sumba memiliki lapisan tanah (topsoil) yang tipis. Sebagai akibatnya, beberapa wilayah seperti di DAS Benanain, tergolong dalam bahaya erosi sangat berat (85.52%) sehingga meningkatkan luas lahan kritis pada DAS tersebut sebesar 284.096 Ha. Selain erosi, dominasi tanah Kambisol sebesar 61% di areal DAS ini juga memperbesar peluang terjadinya longsor besar (Forum DAS NTT, 2006) mana kala terjadi hujan terus-menerus lebih dari seminggu. Longsor seperti ini pernah dialami oleh Masyarakat Oenoah, Desa Puna, Kecamatan Polen (TTS) di mana lahan sawah dan tanaman mamar seluas 1,5 Km2 menjadi hancur. Belum lagi nyawa 100an korban banjir bandang di Malaka yang masih segar teringat dalam benak masyarakat NTT.
Longsor dan erosi tadi cenderung meningkat sebagai akibat dari pola bertani masyarakat NTT yang cenderung menebas dan membakar hutan secara berpindah-pindah (shifting cultivation) dan sebaliknya, mengabaikan lahan lama tanpa melakukan konservasi. Cara-cara demikian sebenarnya sudah tidak layak lagi mengingat kepadatan agraris di NTT sudah tinggi dalam kisaran antara 40 hingga 80 jiwa per hektar lahan dan kapasitas pengelolaan lahan secara ekstensif (carrying capacity ratio) di bawah dari 0,6  (Forum DAS NTT, 2006) atau sudah tidak layak diterapkan. Kerusakan atas hutan semakin diperparah dengan adanya pembalakan hutan untuk dijadikan bahan bakar. Industri-industri seperti pembakaran bata merah di Kota Kefamenanu (TTU) dan di Tanah Merah (Kupang) serta industry penyulingan alkohol di Kota Waingapu serta Melolo (Sumba Timur), telah menghabiskan bertruk-truk kayu gelondongan. Bila dicermati, perambahan kayu untuk dibakar semata-mata dilakukan sebagai solusi dari tidak tersedianya sumber energy alternative lainnya ketika minyak bumi tidak dapat diakses oleh masyarakat setempat. Terambahnya hutan sedemikian cepat disinyalir menjadi penyebab terjadinya perubahan keadaan cuaca dalam skala mikro. Setiap hektar hutan yang hilang melepas 250 Mg karbon ke udara (Rahayu et al., NN) dan karbon yang dilepas akan menahan pantulan sinar matahari dari permukaan bumi ke atmosfir sehingga permukaan bumi bertambah panas dan kurang lembab. Sebagai dampaknya, butiran-butiran air hujan tidak bisa terbentuk di atmosfir walau banyak uap air pada saat itu. Karbon juga mengurai ozone yang menjadi lapisan pelindung atmosfir atas berbagai dampak buruk pencahayaan atas kehidupan di atas planet bumi. Dengan tingkat deforestasi di NTT sebesar 4 kali lipat lebih cepat dari upaya forestasi (Ndjurumana,2004), maka peningkatan panas permukaan bumi sebesar 1,7 hingga 4,5 oC dalam kurun waktu 100 tahun terakhir (Houghen et al., 2001) yang akan berdampak pada perubahan cuaca sangat gampang terjadi. Semua ulasan mengenai penyebab dan dampak dari bencana ini seakan mengarahkan pada adanya usaha-usaha yang menunjang kecukupan pangan, energi, dan keselarasan dengan alam sebagai suatu kekekhasan dalam adaptasi iklim di NTT.

Pertanian Konservasi Terintegrasi Bio-Gas
Peningkatan hasil pertanian berkelanjutan dengan penyediaan energi terbarukan adalah suatu keharusan.  Pertanian konservasi merupakan upaya meningkatkan hasil pertanian dan sekaligus perbaikan sumberdaya lahan untuk menghadapi keadaan iklim ataupun cuaca yang terus berubah dan tidak kondusif. Pertanian konservasi selalu menganut tiga prinsip penting:  (pertama) pengolah lahan secara terbatas hingga tanpa olah, (kedua) penutupan permukaan tanah secara sempurna sepanjang musim, dan (ketiga) rotasi atau tumpang sari tanaman dengan legumonosa (kacang-kacangan).
Pengolahan tanah secara terbatas dapat dilakukan dengan cara pembuatan lubang tanam permanen atau alur tanam sebagai upaya untuk pemberian pupuk organic/kompos. Tanaman utama seperti jagung di tanam di lubang tanam atau alur yang telah diperkaya dengan pupuk organic dan di antara tanaman jagung ditanami tanaman kacang-kacangan sehingga permukaan tanah tertutupi dengan sempurna.  Pada tahap awal penutup tanah mungkin harus diambil dari luar kebun berupa daun-daunan yang dijadikan mulsa.  Pada musim tanam berikutnya seluruh sisa tanaman di areal kebun dijadikan mulsa.  Hal ini terus dilakukan dari musim ke musim sehingga sisa tanaman akan terakumulasi di permukaan tanah sebagi penutup tanah dan sumber bahan organik tanah. Dalam jangka panjang praktek ini akan mampu memperbaiki kualitas lahan dan mencegah erosi. 
Upaya pertanian konservasi dalam mempercepat perbaikan sumber daya lahan memerlukan ketersediaan bahan organik.  Hal ini mengarahkan bahwa pertanian konservasi sangat serasi dipadukan/diintegrasikan dengan ternak sebagi penghasil pupuk organik. Bio-gas merupakan campuran gas methane dan gas lainnya yang dihasilkan dari proses pembusukan bahan organik secara anaerobik dan bisa diubah menjadi panas maupun menjadi energi listrik yang nantinya bisa diubah menjadi bentuk energi berkualitas lainnya.
Oleh sebab itu, bio-gas telah dikembangkan pada industri-industri proses yang memanfaatkan unsur panas dan daya sekaligus (combined heat and power, CHP). Selain bio-gas, byproduct ampas bio-gas (bio-slurry atau bio-digestate), dapat dijadikan pupuk organik bagi tanaman dan penyubur kolam ikan. Dengan begitu, bio-gas sesungguhnya bisa menghidupkan pertanian dan industri pemrosesan dari hasil-hasil pertanian.
Pertanian konservasi terintegrasi bio-gas merupakan suatu sistim pertanian konservasi dengan memadukan manfaat dari sistim-sistim bio-gas ke dalam lahan yang akan dikonservasi. Integrasi ini disinyalir akan semakin membawa banyak manfaat di tingkat petani. Untuk lebih jelasnya, bila saja petani hanya punya bio-gas, pupuk bio-slurrynya akan terbuang percuma. Sebaliknya, bila seorang petani hanya memiliki lahan pertanian konservasi, petani tersebut mungkin akan kesulitan untuk mendapatkan pupuk organik dan sang petani juga tidak punya sumber energi untuk mengolah semua hasil pertaniannya menjadi produk olahan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi. Di tingkat petani, kehadiran bio-gas bagi seorang petani konservasi akan mengurangi beban kerja dan memperkecil waktu pembuatan kompos. Selain itu, pupuk bio-gas cair sangat mudah diserap oleh akar tanaman bila dibandingkan dengan pupuk kompos padat. Walau mungkin saja bio-slurry rendah kandungan bahan organiknya, integrasi bio-gas dan pertanian konservasi menjadi bertambah menarik bila dipandang sebagai akumulasi pengurangan emisi karbon dalam satu paket program terintegrasi berupa pembakaran bio-gas rendah emisi, deposit karbon dalam bentuk pupuk organic ke dalam tanah, dan pengkonsentrasian emisi methane ke dalam reaktor yang ke luar dari kotoran ternak yang berhamburan di atas permukaan tanah. Untuk diketahui, dengan praktek pertanian konservasi, Karbon (unsur C) yang disimpan dalam tanah dapat mencapai 500 hingga 600 Kg per Ha per tahunnya di Amerika Serikat (Follet, 2001).

Dukungan Terhadap Akselerasi Pertanian Konservasi Terintegrasi Bio-Gas
Meskipun pertanian terintegrasi sistim bio-gas telah ada di lapangan seperti yang dilakukan BPTP Prov. NTT bekerja sama dengan Fakultas Peternakan Undana di Desa Bila (TTS) maupun yang dilakukan Yayasan Rumah Energi bekerja sama dengan Hivos di Sumba, peningkatan kesadaran akan manfaat konservasi dan bio-gas, pengembangan produk-produk bio-gas dan integrasinya dengan pertanian agar tercipta kebangkitan industri rumah tangga perlu dilakukan. Sebagai informasi, potensi lahan kering NTT sebesar 1.528.258 Hektar sedangkan potensi bio-gas beberapa Kabupaten seperti Sumba, Kupang, dan Kodya Kupang adalah sebesar 706,41 MW. Penyadaran tersebut dapat terjadi melalui demonstrasi dalam skala kecil lalu diikuti evaluasi untuk pengembangan ke depannya melalui proses belajar bersama/sekolah lapang pertanian konservasi yang efektif meyakinkan masyarakat untuk beralih ke pertanian konservasi.
Selanjutnya, ketersediaan bibit tanaman yang berkualitas di tingkat petani baik itu untuk tanaman jagung maupun untuk tanaman kacang-kacangan sebagai penutup tanah kiranya menjadi perhatian dari semua pihak seperti fore Belu, varietas kacang hijau Malaka, yang sudah mendapat pengakuan nasional dan berpotensi menjadi tanaman penutup lahan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tersedianya peralatan dan mesin pertanian yang disesuaikan dengan prinsip pertanian konservasi.  Alat-alat seperti pembuat alur (ripper), penggilas sisa tanaman (roller crimper), alat tanam (Li-seeder, Direct seeder, dan Injector) dapat diadakan bagi petani konservasi karena alat-alat ini telah terbukti mengurangi beban kerja maupun waktu yang diinvestasikan petani ketika memulai pertanian konservasi. 
Existnya sistim “Salome” (pola tanam jagung, kacang, dan labu lilin di satu lubang tanam sesuai prinsip konservasi lahan) di kalangan petani didukung oleh pepatah Orang Malaka: “tahu batar no ina, batar mai mikar inan la mai”, semata-mata menunjukkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim di kalangan masyarakat NTT yang ramah lingkungan namun murah, tidak membutuhkan pertanian bertekonoligi modern apalagi peralatan seberat dan sebesar excavator. Apapun Programnya, Penyuluhan Kuncinya (Ditulis oleh George M. Manu dan Syamsul Riyadi)



Referensi:
- Basuki Tony, Kedang A., dan Nulik J., 2005. Peranan Agroecological Zone (AEZ) terhadap  Strategi Ketahanan Pangan di Nusa Tenggara Timur. Dipresentasikan mewakili Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, 2005. Perkiraan Ketahanan Pangan di NTT dan Strategi Menghadapi Keadaan Rawan Pangan Di NTT Tahun 2005/2006 (Presentasi). Dipaparkan pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Mbipi T. Cyrilus, 2005.  Pengaruh Iklim Terhadap Prodktivitaspertanian Taman Pangan dan Antisipasi Penanggulangan Di NTT (Presentasi). Dipresentasikan pada Lokakarya Prakiraan Iklim & Kerjasama Media Lokal kerja sama CARE International Indonesia NTT, Kupang, 20-23 Juni 2005.
- Forum DAS NTT, 2006. Rumusan Workshop Pengelolaan Terpadu DAS Benanain-Noelmina Kupang, 28-29 Juni 2006
- Rahayu Subekti, Lusiana Betha, van Noordwijk Meine, NN. Aboveground Carbon Stock Assessment for Various Land Use Systems in Nunukan, East Kalimantan. ICRAFF Bogor.
- Njurumana ND. Gerson, NN. Rimbawan di Padang Savanna, sebuah refleksi Hari Bakti Rimbawan 16 Maret.
- Follet R. F., 2001. Soil management concept and carbon sequestration zin cropland soil. Soil tillage research 61 (2001) 77-92,Elsevier.
- Houghen JT, Ding Y, Griggs DJ, Nouger M., et al., 2001. Climate change 2001: The scientific basis. Cambridge University Press. 83 pp. http://www.ipcc.ch/Accessed: 28.

Pertanian Konservasi di Desa Salut Kayangan Kab. Lombok Utara



Dalam upaya mencapai pertanian yang berkelanjutan dan memperbaiki mata pencahariian melalui peningkatan hasil pertanian dengan mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah serta  menjaga kelembaban tanah. Dilakukan pendekatan berupa Sekolah Lapang Pertanian Konservasi (SL-PK) terhadap para penyuluh se Kabupaten Lombok Utara. Sekolah lapang pertanian konservasi yang diselenggarakan oleh FAO bekerjasama Badan Ketahanan Pangan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP4K) Kab. Lombok Utara selama 4 hari mulai 23 s/d 26 Agustus 2016. Kegiatan yang merupakan  proses belajar orang dewasa dalam satu kelompok tani dilakukan di lahan terbuka pertanian konservasi secara langsung setelah melakukan belajar teori dalam ruangan selama sehari dan 3 hari pratek langsung di lahan demplot.
Dengan curah hujan yang relatif singkat terutama pada daerah lahan pertanian kering menjadi salah satu alternaitif pada pola tanam menggunaan pertanian konservasi. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala BKP4K Kab. Lombok Utara “Nurtha Darma Sucaka” saat membuka pelatihan pertanian konservasi bagi penyuluh di BP3K Kecamatan Kayangan.
Bahwa dengan konsep pertanian konservasi seperti pengolahan tanah secara terbatas, penutupan tanah oleh sisa tanaman dibiarkan di lahan dalam mencegah erosi, menghambat pertumbuhan gulma, menjaga kelembaban tanah. Serta pergiliran tanaman dengan melakukan tumpangsari dan rotasi tanaman yang tepat dari musim ke musim akan memberikan kesuburan tanah melalui penambatan hara oleh tanaman legum pada pola tanam lahan kering yang ada di Kabupaten Lombok Utara seperti kayangan dan bayan tegasnya.
Sedangkan manager pertanian konservasi “Ujang Suparman” menjelaskan peserta pelatihan melibatkan 25 penyuluh kecamatan dan 2 penyuluh dari Bakorluh Provinsi dan 30 orang berasal dari 2 kelompoktani setempat. Untuk memberikan pemahaman pengetahuan dan kemampuan secara teknis tentang pertanian konservasi secara langsung melalui pedekatan sekolah lapang.
Pelatihan dengan melibatkan penyuluh sebagai garda terdepan petani menjadi dasar utama dalam memperkenalkan pertanian konservasi didaerah sesuai dengan wilayah kerjanya. Sehingga upaya perluasan lahan secara bertahap dapat ditempuh melalui pembekalan dan pelatihan kepada penyuluh dilapangan ungkapnya.
Dijelaskan juga bahwa pertimbangan untuk memulai pertanian konservasi ada beberapa hal pertama Meningkatkan hasil pertanian. Pada pertanian kenvensional, umumnya hasil tanaman cenderung menurun karena menurunnya kesuburan tanah sebagai akibat teknik budidaya yang kurang tepat.  Sedangkan dalam pertanian konservasi mecegah kehilangan tanah karena erosi, meningkatkan kelembaban tanah, menjaga kesuburan tanah sehingga hasil tanaman lebih stabil bahkan dapat meningkat dalam kurun waktu panjang/bertahap.
Kedua menekan biaya, biaya pengolahan tanah, tenaga kerja, sarana produksi seperti pupuk dan pestisida terus meningkat akibatnya hasil tanaman cenderung menurun.  Untuk pertanian konservasi menganut pengolahan tanah terbatas dan mengggunakan sarana produksi kimiawi secara terbatas sehingga dapat menurunkan biaya dengan hasil tanaman yang sama atau lebih baik.
Terakhir mengantisipasi keterbatasan tenaga kerja. Pertanian konservasi mengurangi kebutuhan tenaga kerja seperti tenaga kerja pengolahan lahan, penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit, terutama mulai musim tanam kedua dan selanjutnya tegasnya.
Pelatihan semacam ini akan dilakukan di beberapa tempat di kabupaten Provinsi Nusa Tenggara Barat, bukan hanya di Kab. Lombok Utara saja. Untuk minggu depan ada dilakukan di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kab. lainnya.